Tulisan ini bermula dari adanya peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Tahun 1431 H, yang kemudian menimbulkan pertanyaan, “Apa hikmah dari peringatan Maulid Nabi?”. Setelah penulis berkontemplasi mencari hikmah peringatan itu, baru penulis ingat sebuah buku dengan judul “Propetic Learning”. Dari sinilah kemudian penulis terinspirasi untuk menulis “menjadi guru yang inspiratif dengan jalan kenabian.”
Di dunia pendidikan, banyak kita jumpai berbagai cara mengajar dan metode dalam menciptakan gaya belajar siswa. Ada Quantum Learning, Beyond Teaching And Learning, Quatum Teaching dan yang baru adalah Prophetic Learning.
Pada kesempatan ini penulis mencoba memaparkan sekilas tentang Prophetic Learning. Prophetic Learning adalah sebuah metode atau cara belajar yang menimba dari pengalaman generasi emas ( The Golden Age) dengan jalan profetik/kenabian, dari khasanah sejarah kejayaan peradaban Islam di masa silam. Dengan Prophetic Learning akan menjadikan para muslim pembelajar mampu untuk berprestasi sekaligus berandil di masyarakat. Sehingga, kita tak lagi bertanya-tanya: “Mengapa ilmu yang di sekolah atau di perguruan tinggi tidak memiliki efek dalam membentuk karakter dan sikap hidup keseharian pembelajarnya?”
Sebagai contoh yang dapat kita ambil hikmahnya adalah sebuah kisah di masa generasi terdahulu, yaitu di masa hidupnya para perawi hadist, namanya Musa Bin Hazm. Ia guru dari Imam Bukhari dan Imam Tirmidzi. Awalnya, orangnya biasa-biasa saja sebelum menjadi ahli hadist. Perkembangan ilmunya tidak pesat. Perubahan yang sangat luar biasa terjadi ketika ia mulai bergaul dan menimba ilmu pada Imam Ahmad bin Hambal. Sejak saat itu, ia berubah menjadi ulama ahli hadist yang sangat gigih belajarnya. Kisah ini menjelaskan kepada kita tentang pentingnya menjadi manusia-manusia pembelajar dan pengajar. Sebagaimana motto di buku belajar mengaji (Iqro’) anak-anak, “khoirrukum man ta’allamul qur’an wa allammahu” yang artinya,“sebaik-baik kamu adalah yang mau belajar Al-Qur’an dan mau mengajarkannya”.
Islam memberikan dorongan kuat buat kita untuk menjadikan program belajar dan mengajar sebagai sebuah kepaduan yang akan membentuk karakter. Secara gamblang Al-Qur’an memaparkan karakter generasi rabbani sebagai orang yang tidak henti untuk mengajar dan tidak pula bosan untuk selalu belajar. “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan kamu tetap mempelajarinya” ( Q.S. Ali Imran :79)
Kata rabbani terambil dari kata rabb, yang memiliki aneka macam makna, antara lain pendidik dan pelindung. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa mereka yang dianugerahi kitab, hikmah dan kenabian menganjurkan semua orang agar menjadi rabbani, dalam arti semua aktifitas, gerak, dan langkah, niat dan ucapan kesemuanya sejalan dengan nilai-nilai agama. Sehingga terjadi internalisasi nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang rabbani –menurut ayat ini- mengandung dua hal. Pertama, terus menerus mengajarkan kitab suci, dan kedua, terus menerus mempelajarinya.
Sebuah Sapaan dari Rasulullah.
Rasulullah mengajarkan kepada kita tentang hubungan antara mengajar dan belajar. Beliau juga memberikan contoh kepada kita bahwa sekat antara guru dan murid sangatlah tipis. Sebab, sebagaimana kita pahami dari taujih rabbani surat Ali Imran ayat 79 di atas, dalam diri seorang muslim menyatu posisi seorang guru dan murid sekaligus. Ia selalu berproses untuk mengajar dan belajar.
Marilah kita meneropong kehidupan Rasulullah. Nabi Muhammad SAW selalu memanggil orang-orang yang mengikutinya dengan sapaan: ”sahabatku!”, sebuah sapaan yang luar biasa. Tidak pernah beliau memanggil dengan: ”muridku”, ”pengikutku”, dan yang sejenisnya. Selalu beliau memanggil ,”Sahabatku.” Luar biasa! Efek psikologis yang muncul adalah rasa kedekatan. Tidak ada jarak antara peran sebagai guru dan peran sebagai murid. Pada satu sisi, seorang muslim adalah murid yang memiliki semangat belajar membara. Akan tetapi, ia juga sebagai guru yang memberikan ilmunya secara ikhlas pada orang lain.
Kesadaran inilah semestinya dimiliki oleh muslim pembelajar. Setiap muslim pada hakekatnya adalah seorang guru. Guru yang diidamkan muslim pembelajar adalah guru yang inspiratif. Guru yang memberikan ilmunya pada siapa pun atas dorongan iman. Guru yang menggerakkan dan menginspirasi, yang mampu memantik kreatifitas. Mengajak untuk melihat sesuatu dari sudut pandang yang beragam. Dalam buku Prophetic Learning yang ditulis oleh Dwi Budiyanto, guru dikategorikan menjadi dua karakter, yaitu guru formalistik dan guru inspiratif. Berikut ini tabel perbandingan kedua karakter guru itu :
Guru Formalistik | Bahan Perbandingan | Guru inspiratif |
Pasif | Mitra Belajar | Aktif |
Satu arah | Komunikasi | Dialogis |
Masalah yang dihadapi | Fokus | Potensi mitra belajar |
Jawaban Instan ( Giving Answer) | Hasil | Struktur berpikir ilmiah ( Sharpen mind ) |
Menerapkan satu cara, dari guru | Proses | Mengembangkan banyak cara/ alternatif |
Menganggap orang lain sebagai murid | Pandangan terhadap orang lain | Menganggap orang lain sebagai sahabat dan mitra belajar |
Dari tabel di atas, kita dapat mengambil hikmah bahwa karakter guru inspiratif adalah karakter guru yang moderat, terbuka, humanis dan punya kompetensii paedagogik yang baik. Itulah guru masa depan. Guru yang dengan tulus dan ikhlas menyadari perannya sebagai guru akan mengalami penguatan (reinforcement) motivasi untuk belajar. Motif kompetensi mendorong seseorang untuk lebih menguasai materi yang akan disampaikan. Seperti seseorang yang akan melakukan presentasi, maka ada dorongan dalam dirinya untuk mempersiapkan diri. Ia berkeinginan belajar sebelum presentasi.
Menjadi Cerdas Dengan Mengajar
Apakah dengan menjadi guru seseorang akan lebih cerdas! Itu akan otomatis terjadi pada seseorang, karena dengan mengajar akan mampu memperkuat pemahaman. Proses ini mendorong seseorang untuk menguasai kembali pelajaran yang pernah diperoleh. Langkah ini biasa disebut sebagai re-learning ( belajar kembali). Selain itu, proses mengajar sama dengan mengingat kembali pemahaman yang pernah diperoleh. Pada tahap ini, kita sedang meneguhkan informasi dan pemahaman yang dimiliki dari short-term memory ke long-term memory, melaluii rehearsal (mengulang-ulang). Dengan menyampaikan kembali pelajaran kepada orang lain, sesungguhnya kita sedang mengulanginya. Kita sedang memperkuat pemahaman kita untuk jangka waktu yang lebih panjang. Itulah sebabnya, beberapa pakar menjelaskan bahwa ketika Anda mengajarkan ilmu pada orang lain, maka mekanisme dalam otak kita akan bekerja untuk mengingat 95% lebih optimal.
Otak kita rata-rata mengingat
10% | Apa yang kita baca |
20 % | Apa yang kita dengar |
30 % | Apa yang kita lihat |
50 % | Apa yang kita dengar sekaligus lihat |
70 % | Kalau dibicarakan dengan orang lain |
80 % | Jika kita mengalami atau mempraktekkan |
95 % | Jika kita mengajarkan pada orang lain |
Menyampaikan ilmu pada orang lain –sebagai kebiasan kenabian- akan mendorong kita lebih kreatif. Kita tergerak untuk menyampaikan apa yang kita ketahui secara baik, menarik, mudah dipahami, dan terbuka terhadap segala alternatif pemecahan masalah. Keinginan itu akan memantik kita untuk menyajikan contoh yang mudah dipahami dan ilustrasi yang gampang dicerna. Agar mudah dipahami kita pun berpikir untuk menghubungkan penjelasan kita dengan kenyataan sehari-hari. Sebagai guru yang inspiratif, kita menyusun penjelasan secara kontekstual. Kerja inii menghajatkan lahirnya kreatifitas dalam diri kita. Jika semua itu kita lakukan terus menerus, maka kita sedang membiasakan diri untuk hidup dalam kreativitas dan penuh pengayaan, sebagai buah dari karakter guru yang inspiratif, yang dilandasi oleh semangat kenabian. Rasulullah sebagai mualim (guru) memberikan perhatian yang besar pada pengajaran. Beliau tidak sekadar mentransfer pengetahuan kepada para sahabat, tetapi menanamkan metode berpikir ilmiah.. Beliau juga memberikan apresiasi positif bagi mitra belajar. Sebagai contoh adalah sebuah hadist dari Abu Hurairah yang bertanya pada Rasulullah. ”Siapakah orang yang paling bahagia memperoleh syafaatmu di hari kiamat?” Rasul kemudian kemudian bersabda, ”Hai Abu Hurairah, sungguh saya telah menduga bahwa tidak ada seorang pun bertanya kepadaku tentang hadist ini mendahuluimu. Hal itu karena saya mengetahui kesungguhanmu dalam hadist. Orang yang paling bahagia dengan memperoleh syafaatku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan La illaha illallah secara ikhlas dari hatinya atau dari dalam dirinya ” (HR. Bukhori). Pada hadis ini, Rasulullah sebelum menjawab pertanyaan Abu Hurairah, rasul memberikan apresiasi positif terlebih dahulu. Sepatah pujian atau ungkapan penyemangat mampu mendongkrak kesungguhan dan keseriusan. Pujian yang benar akan lebih banyak memberikan dorongan untuk mencapai puncak prestasi.
*) Penulis, Guru Madrasah Aliyah Negeri Patas Buleleng
E-mail : imronwahid@ymail.com
Referensi :
Dwi Budiyanto (2009)
Prophetic Learning, Yogyakarta , Penerbit
Pro-U Media.
Aidh Qorni,2006, La Tahzan, Jangan Bersedih! Jakarta:
Penerbit Qisthi Press
Quraish Shihab, 2006, Tafsir Al-Misbah, Jakarta
Penerbit Lentera Hati
Syaikh Syafiyyur Rahman,2002, Sirah Nabawiyah, Jakarta
Penerbit Pustaka Al-Kautsar
0 komentar:
Posting Komentar