Sabtu, 11 Desember 2010

MENJADI GURU YANG INSPIRATIF ‘’Dengan Jalan Prophetic Learning ‘’


Tulisan ini bermula dari adanya peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Tahun 1431 H, yang kemudian menimbulkan pertanyaan, “Apa hikmah dari peringatan Maulid Nabi?”. Setelah penulis berkontemplasi mencari hikmah peringatan itu, baru penulis ingat sebuah buku dengan judul “Propetic Learning”.  Dari sinilah kemudian penulis terinspirasi untuk menulis “menjadi guru yang inspiratif  dengan jalan  kenabian.”
Di dunia pendidikan, banyak kita jumpai berbagai cara mengajar dan metode dalam  menciptakan gaya belajar siswa. Ada Quantum Learning, Beyond Teaching And Learning, Quatum Teaching  dan  yang baru adalah Prophetic Learning.
Pada kesempatan ini penulis mencoba memaparkan sekilas tentang Prophetic  Learning. Prophetic  Learning adalah sebuah  metode atau cara belajar yang menimba dari pengalaman  generasi emas ( The Golden Age) dengan jalan profetik/kenabian, dari khasanah sejarah kejayaan peradaban Islam di masa silam. Dengan Prophetic Learning akan menjadikan para muslim pembelajar mampu untuk berprestasi sekaligus berandil di masyarakat. Sehingga, kita tak lagi bertanya-tanya: “Mengapa ilmu yang di sekolah atau di perguruan tinggi tidak memiliki efek dalam membentuk karakter dan sikap hidup keseharian pembelajarnya?”
Sebagai contoh  yang dapat kita ambil hikmahnya  adalah sebuah kisah di masa generasi terdahulu, yaitu di masa hidupnya para perawi hadist, namanya Musa Bin Hazm. Ia guru dari Imam Bukhari dan Imam Tirmidzi. Awalnya, orangnya biasa-biasa saja sebelum menjadi ahli hadist. Perkembangan ilmunya tidak pesat. Perubahan  yang sangat luar biasa  terjadi ketika ia mulai bergaul dan menimba ilmu pada  Imam Ahmad bin Hambal. Sejak saat itu, ia  berubah menjadi  ulama ahli hadist yang sangat gigih belajarnya.  Kisah ini  menjelaskan kepada kita tentang pentingnya menjadi manusia-manusia pembelajar dan pengajar. Sebagaimana  motto di buku belajar mengaji (Iqro’) anak-anak, “khoirrukum man ta’allamul qur’an wa allammahu” yang artinya,“sebaik-baik kamu adalah yang mau belajar Al-Qur’an dan mau mengajarkannya”.
Islam memberikan dorongan kuat buat kita untuk menjadikan program belajar dan mengajar sebagai sebuah kepaduan yang akan membentuk karakter.  Secara gamblang Al-Qur’an  memaparkan  karakter generasi rabbani sebagai orang yang tidak henti untuk mengajar dan tidak pula bosan untuk selalu belajar. “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan kamu tetap mempelajarinya” ( Q.S. Ali Imran :79)
Kata rabbani terambil dari kata rabb, yang memiliki aneka macam makna, antara lain pendidik dan pelindung. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah menjelaskan  bahwa mereka yang dianugerahi  kitab, hikmah dan kenabian menganjurkan  semua  orang agar menjadi rabbani, dalam arti semua aktifitas, gerak, dan langkah, niat dan ucapan kesemuanya  sejalan dengan nilai-nilai  agama. Sehingga terjadi internalisasi nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang rabbani –menurut ayat ini- mengandung dua hal. Pertama, terus menerus mengajarkan  kitab suci, dan kedua, terus menerus mempelajarinya.

Sebuah Sapaan dari Rasulullah.
Rasulullah mengajarkan kepada kita tentang hubungan antara mengajar dan belajar. Beliau juga memberikan contoh  kepada kita bahwa sekat antara guru  dan murid sangatlah  tipis. Sebab, sebagaimana  kita pahami dari taujih rabbani  surat Ali Imran ayat 79 di atas, dalam diri seorang muslim menyatu posisi seorang guru dan murid sekaligus.  Ia selalu berproses untuk mengajar dan belajar.
Marilah kita meneropong kehidupan  Rasulullah. Nabi Muhammad SAW selalu memanggil orang-orang  yang mengikutinya dengan sapaan: ”sahabatku!”, sebuah sapaan  yang luar biasa. Tidak pernah beliau memanggil dengan: ”muridku”, ”pengikutku”, dan yang sejenisnya.  Selalu beliau memanggil ,”Sahabatku.” Luar biasa! Efek psikologis yang muncul adalah rasa kedekatan. Tidak ada jarak antara peran sebagai guru dan peran sebagai murid. Pada satu sisi, seorang muslim adalah murid yang memiliki semangat belajar membara. Akan tetapi, ia juga sebagai guru yang memberikan ilmunya secara ikhlas pada orang lain.
Kesadaran inilah semestinya  dimiliki  oleh muslim pembelajar. Setiap muslim pada hakekatnya adalah seorang guru. Guru yang diidamkan muslim pembelajar adalah guru yang inspiratif. Guru yang memberikan ilmunya pada siapa pun atas dorongan iman. Guru yang menggerakkan dan menginspirasi, yang mampu memantik kreatifitas. Mengajak untuk melihat sesuatu dari sudut pandang yang beragam. Dalam buku Prophetic Learning yang ditulis oleh Dwi Budiyanto,  guru dikategorikan  menjadi dua karakter, yaitu guru formalistik dan guru inspiratif. Berikut ini tabel perbandingan kedua karakter guru itu :


Guru Formalistik


Bahan Perbandingan

Guru  inspiratif
Pasif
Mitra Belajar
Aktif

Satu arah

Komunikasi

Dialogis

Masalah yang dihadapi

Fokus

Potensi mitra belajar

Jawaban Instan
( Giving Answer)

Hasil

Struktur  berpikir  ilmiah
( Sharpen mind )
Menerapkan satu cara,
 dari guru
Proses
Mengembangkan banyak cara/ alternatif
Menganggap orang lain sebagai murid
Pandangan  terhadap orang lain
Menganggap orang lain sebagai sahabat dan mitra belajar

Dari tabel di atas, kita dapat mengambil hikmah bahwa karakter guru inspiratif  adalah karakter guru yang moderat, terbuka, humanis dan punya kompetensii paedagogik yang baik. Itulah guru masa depan. Guru yang dengan tulus dan ikhlas menyadari  perannya sebagai  guru akan mengalami penguatan (reinforcement) motivasi untuk belajar. Motif kompetensi mendorong  seseorang untuk lebih menguasai materi yang akan disampaikan. Seperti seseorang yang akan melakukan presentasi, maka ada dorongan  dalam dirinya untuk mempersiapkan diri. Ia berkeinginan belajar sebelum presentasi.

Menjadi Cerdas Dengan Mengajar
Apakah dengan menjadi guru seseorang akan lebih cerdas! Itu akan otomatis terjadi pada seseorang, karena dengan mengajar akan mampu memperkuat pemahaman. Proses ini mendorong seseorang untuk menguasai kembali pelajaran yang pernah diperoleh. Langkah ini biasa disebut  sebagai re-learning ( belajar kembali). Selain itu, proses mengajar sama dengan mengingat kembali pemahaman yang pernah diperoleh.  Pada tahap ini,  kita sedang meneguhkan informasi dan pemahaman yang dimiliki dari short-term memory ke long-term memory, melaluii rehearsal (mengulang-ulang). Dengan menyampaikan kembali pelajaran kepada orang lain, sesungguhnya kita sedang mengulanginya. Kita sedang memperkuat  pemahaman kita untuk jangka waktu yang lebih panjang. Itulah sebabnya, beberapa pakar menjelaskan  bahwa ketika Anda mengajarkan  ilmu pada orang lain, maka mekanisme dalam otak kita akan bekerja untuk mengingat 95% lebih optimal.
Otak kita rata-rata mengingat

10%

Apa yang kita baca

20 %

Apa yang kita dengar

30 %

Apa yang kita lihat

50 %

Apa  yang kita dengar  sekaligus lihat

70 %

Kalau dibicarakan  dengan orang lain

80 %

Jika kita mengalami atau mempraktekkan

95 %

Jika kita mengajarkan pada orang lain

Menyampaikan ilmu pada orang lain –sebagai kebiasan kenabian- akan mendorong  kita lebih kreatif. Kita tergerak untuk menyampaikan apa yang kita ketahui secara baik, menarik, mudah dipahami, dan terbuka terhadap segala alternatif pemecahan masalah. Keinginan itu akan memantik kita untuk menyajikan contoh yang mudah dipahami  dan ilustrasi  yang gampang dicerna. Agar mudah dipahami kita pun berpikir  untuk menghubungkan penjelasan kita dengan kenyataan sehari-hari. Sebagai guru yang inspiratif, kita menyusun penjelasan secara kontekstual. Kerja inii menghajatkan lahirnya kreatifitas dalam diri kita. Jika semua itu kita lakukan terus menerus, maka kita sedang membiasakan diri untuk hidup dalam kreativitas dan penuh pengayaan, sebagai buah dari  karakter guru yang inspiratif, yang dilandasi oleh semangat kenabian.  Rasulullah sebagai mualim (guru) memberikan perhatian yang besar pada pengajaran. Beliau tidak sekadar mentransfer  pengetahuan kepada  para sahabat, tetapi menanamkan metode berpikir ilmiah.. Beliau juga memberikan apresiasi positif bagi mitra belajar. Sebagai contoh adalah sebuah  hadist  dari Abu Hurairah yang bertanya pada Rasulullah. ”Siapakah orang yang paling bahagia memperoleh syafaatmu di hari kiamat?”  Rasul kemudian  kemudian bersabda, ”Hai Abu Hurairah, sungguh saya telah menduga bahwa tidak ada seorang pun bertanya kepadaku tentang hadist ini mendahuluimu. Hal  itu karena saya mengetahui  kesungguhanmu dalam hadist. Orang yang paling bahagia dengan memperoleh  syafaatku pada hari kiamat  adalah orang yang mengucapkan  La  illaha illallah secara ikhlas dari hatinya atau dari dalam dirinya ” (HR. Bukhori).  Pada  hadis ini, Rasulullah sebelum menjawab pertanyaan Abu  Hurairah, rasul memberikan apresiasi positif terlebih dahulu. Sepatah pujian atau ungkapan penyemangat mampu mendongkrak kesungguhan  dan keseriusan. Pujian yang benar akan lebih banyak memberikan dorongan untuk mencapai puncak  prestasi. 

*)  Penulis, Guru Madrasah Aliyah Negeri Patas Buleleng
     E-mail : imronwahid@ymail.com



Referensi :
Dwi Budiyanto (2009)
Prophetic Learning, Yogyakarta, Penerbit
Pro-U Media.

Aidh Qorni,2006, La Tahzan, Jangan Bersedih!  Jakarta:
Penerbit Qisthi Press

Quraish Shihab, 2006, Tafsir Al-Misbah, Jakarta
Penerbit Lentera Hati

Syaikh Syafiyyur Rahman,2002, Sirah Nabawiyah, Jakarta
Penerbit Pustaka Al-Kautsar













0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com