Sabtu, 11 Desember 2010

Upaya Mencegah Aksi Terorisme

Dunia gempar dengan peristiwa attack bom terhadap Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton 17 Juli 2009. Aksi-aksi biadab ini tentu saja meneror dan menciderai nilai kemanusiaan. Termasuk juga di antaranya apa yang telah dilakukan oleh Imam Samudra dan cs-nya di Legian Kuta beberapa tahun lalu. Fakta memang membuktikan bahwa ada segelintir orang yang mengatasnamakan ”jihad” untuk melakukan tindakan teror. Apapun alasannya, tindakan membunuh satu jiwa -tanpa dibenarkan oleh hukum- pada hakekatnya juga telah membunuh jiwa manusia secara menyeluruh. Siapapun yang telah menganggap remeh nyawa satu manusia saja, maka pada hakekatnya dia telah menganggap remeh nyawa umat manusia. Jadi, peristiwa bom bunuh diri (suicide bomm) itu apapun alasanya tidak dibenarkan oleh semua agama. Terorisme sebagai lingkaran setan, telah berdampak buruk bagi pelaku dan korban sekaligus. Bagi pelaku, mereka tidak sabar untuk melakukan tindakan nekat, bahkan untuk bunuh diri. Pasalnya, mereka adalah pihak yang siap mati. Jadi psikologi yang tumbuh di kalangan teroris adalah psikologi kematian. Di dalam pikiran mereka, yang muncul adalah kepastian untuk mati, bukan kepastian untuk hidup. Bagi korban, aksi-aksi terorisme ini telah menimbulkan trauma dan kerugian yang besar bagi para korban dan keluarga yang ditinggalkan.

Akar Penyebab Terorisme
Ada beberapa pendapat yang telah dikemukakan menyangkut akar penyebab timbulnya tindak terorisme di Indonesia dan upaya pencegahannya.
Menurut Toto Suparto, akar teror ini bukan melulu dilakukan oleh orang yang tergiur janji surga, bukan pula soal ideologis. Terorisme tumbuh akibat ketimpangan belahan dunia. Kapitalisme Barat sangat nyata mengalir di negeri ini, dan celakanya malah memperlebar ketimpangan ekonomi rakyat. Secara eksplisit para teroris ingin menunjukkan penolakan terhadap jenis kapitalisme dan modernisasi yang kejam, yang dibawa oleh pasar modal dan celakanya didominasi oleh sejumlah kecil korporasi internasional. Inilah yang disebut terorisme global. Dampak dari globalisasi, telah membagi masyarakat dunia ke dalam kelompok-kelompok pemenang, penerima keuntungan dan pecundang. Terorisme global adalah perlawanan para pecundang terhadap pemenang. Para pecundang punya dalih bahwa globalisasi merupakan pencabutan cara-cara hidup tradisional dengan jalan ”kekerasan”, yang dilakukan pihak Kapitalis dan liberalis sebagai representasi dari Barat.
Sedangkan upaya yang ditawarkan untuk menekan tindak terorisme adalah memaksimalkan peran negara dalam menjalankan fungsinya bagi masyarakat. Jika negara dapat menyejahterakan rakyatnya, pelan-pelan terorisme bisa ditekan. (JP,23/7/2009).
Pendapat yang lain adalah dari Said Aqil Siradj selaku tokoh NU, yang menyatakan bahwa akar penyebab timbulnya terorisme adalah gerakan Islam radikal. Gerakan ini sangat dipengaruhi oleh pola-pola pemikiran kelompok Khawarij. Sikap mereka yang ingin menempuh jalur apa saja, menyalahkan siapa saja yang tak sama pemahamannya, merupakan refleksi dari pemahaman agama yang sempit. Ciri-ciri dari pemahaman yang menyimpang ini adalah ”mudah mengkafirkan orang”, dengan alasan bahwa orang itu telah berbuat dosa besar. Termasuk Khalifah Ali bin Abi Thalib telah mereka vonis kafir, karena telah membenarkan arbitrase atau tahkim dengan Mu’awiyah. Otomatis mereka anggap halal darahnya dan berakibat pada terbunuhnya Khalifah Ali bin Thalib. Itu semua sebagai akibat dari kesalahan memahami potongan ayat,”barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu kafir”.(Al-Maidah: 44). Ayat ini menjadi doktrin laa hukma illa Allah, bahwa arbitrase hanya milik Allah.
Dampak dari pemikiran kelompok Khawarij ini telah tercatat dalam sejarah, dengan tindakan-tindakan teror yang telah mereka lakukan terhadap kaum muslimin. Salah satu korbannya adalah Abdullah Bin Khabbab, seorang Gubernur dalam pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib, tatkala ia bersama keluarganya melewati wilayah kelompok khawarij, maka dia dibantai oleh orang-orang khawarij. Kemudian istrinya yang sedang hamil, diseret dan dibelah perutnya untuk dikeluarkan bayi yang ada di dalam rahimnya. Subnalallah...Kejam dan biadab sekali perbuatan mereka. Sampai pada puncaknya mereka membunuh Khalifah Ali Bin Abi Thalib. (Syalabi,1997)
Pada pidato Presiden SBY tanggal 29 Juli 2009 dalam rapat terbatas pada Kabinet Indonesia Bersatu dan telekonferensi dengan para Gubernur seluruh Indonesia, telah disinggung mengenai terorisme. Beliau menyatakan bahwa akar penyebab terorisme adalah :1) Idiologi yang radikal yang berkembang dan bisa muncul di mana-mana. 2) Penyimpangan terhadap ajaran agama, terutama dalam menafsirkan konsep jihad, surga dan neraka, 3) Kondisi kehidupan yang susah dan kemiskinan yang absolute. Dari akar penyebab ini perlu adanya solusi untuk mencegah terjadinya aksi terorisme, diantaranya adalah: 1). Pendidikan agama yang benar, yang dapat mencegah perilaku yang mengarah pada tindakan terorisme. 2) Pembangunan, yang dapat mencegah kemiskinan dan keterbelakangan dalam kehidupan rakyat. 3) Memaksimalkan peran aparat Pemerintah bersama seluruh rakyat Indonesia untuk mencegah aksi-aksi terorisme.
Pada akhirnya, upaya pemerintah untuk menjamin kesejahteraan rakyat perlu kita dukung bersama. Angka kemiskinan harus dikurangi dan ketimpangan sosial jangan dibiarkan menganga. Kecemburuan sosial diganti dengan keadilan sosial.

Tanggungjawab Para Pendidik
Untuk mencegah timbulnya radikalisme dan terorisme, upaya yang paling efektif -disamping lewat keamanan- adalah lewat jalur pendidikan, terutama pada peran aktif para guru sebagai pengajar dan pendidik. Guru mempunyai tugas dan fungsi (tupoksi) yang sangat strategis. Pertama, guru sebagai pengajar berkewajiban untuk menyampaikan materi pelajaran sampai siswa mencapai nilai ketuntasan minimal (KKM). Kedua, guru sebagai pendidik berkewajiban memberikan wawasan dan pemahaman agama yang benar dan tidak menyimpang. Guru sebagai ujung tombak dalam memberikan pendidikan moral/akhlak mempunyai tugas untuk membentuk kesalehan perilaku sehari-hari anak didik. Guru harus mampu merebut hati dan pikiran anak didik agar jauh dari hal-hal yang membahayakan agama dan kemanusiaan. Betapa berbahaya apabila agama telah diselewengkan oleh para teroris. Kecenderungan saat ini, para pelaku terorisme berusia muda, yang punya pola pikir (mindset) yang salah. Mereka terpengaruh oleh paham Neokhawarij (meminjam istilah Azumardi Azra). Untuk itu perlu reorientasi pengajaran agama di sekolah. Kelemahan pengajaran agama di sekolah/madrasah selama ini adalah masih terjebak pada cognitive oriented, bukan penanaman nilai. Pengertian moral/akhlak hanya sebatas pada tataran ilmu, yang dipahami sebagai seperangkat aturan, ketentuan, atau norma sopan santun, seperti cara berpakaian, cara bergaul dan sejenisnya, bukan keseluruhan kepribadian muslim yang menyangkut kemandirian, kedisiplinan, kejujuran, tanggungjawab, dan kepedulian sosial. Guru tidak cukup hanya menyajikan materi pelajaran agama pada tataran normatif, kemudian ditagih melalui ujian dan hafalan. Akibatnya, anak didik hanya tahu dan hafal tentang ilmu moral/akhlak tetapi tidak sampai pada tahap implementasi dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh sebab itu guru/ustadz mempunyai peran yang sangat penting dalam pembentukan karakter anak didik (character building). Guru adalah contoh (role model), pengasuh (caregiver) dan penasehat (mentor) bagi kehidupan anak didik. Kita ingat, guru sering diartikan sebagai digugu lan ditiru, artinya keteladanan guru menjadi sangat berharga dihati dan pikiran anak didik, sebagai figur nyata yang dapat diteladani Jadi, guru menjadi penentu dalam memberikan pemahaman yang baik tentang agama dan kehidupan. Sebagai contoh, kita sebagai guru perlu mengucapkan pada anak didik bahwa “Tuhan itu tidak perlu dibela, karena Tuhan Maha Perkasa, kalau engkau mau membela Tuhan, maka bela hamba-hamba yang dalam kehidupannya menderita dan tertindas ”. Selanjutnya anak didik kita ajak untuk bersedekah kepada fakir miskin.
Disamping itu para pendidik dituntut untuk memikirkan, memahami, dan menghayati institusi agamanya untuk sebuah kehidupan yang plural, yang mengajarkan nilai-nilai universal seperti HAM, demokrasi dan keadilan. Salah satu visi pendidikan abad 21 yang telah dirumuskan UNESCO adalah learning to live together (belajar untuk hidup bersama). Ini berarti, pendidikan harus mengarahkan anak didik agar siap dan mampu untuk hidup bersama-sama dengan semangat toleransi, tanpa permusuhan karena perbedaan etnis, agama, atau golongan. (A.Qodry,2003).
Pada saat yang sama pula guru harus mampu mengajak anak didik membangun kebersamaan dan persatuan antar sesama siswa dengan berpikir sehat, sadar diri, dan bersedia menjaga lingkungan serta berorientasi pada karya dan prestasi untuk masa depan mereka. Masa depan mereka berarti masa depan bangsa. Oleh karena itu guru mempunyai tanggungjawab dan tugas mulia untuk mencetak generasi muda yang mempunyai pemahaman keagamaan yang baik dan benar, sebagai upaya mencegah tindakan terorisme. Akhirnya, guru dituntut untuk selalu meng-update wawasan dan pemahaman keagamaan, baik melalui buku, media cetak dan elektronik maupun pusat-pusat pendidikan dan pelatihan keagamaan (Pusdiklat). Dengan harapan, para pendidik dapat menyampaikan materi tentang nilai-nilai kemanusiaan, pengetahuan dan peradaban.

Daftar Pustaka ;
A.Syalabi, Prof, Dr, ”Sejarah dan Kebudayaan Islam 2”, PT. Al Husna Zikra, 2000
Azyumardi Azra, Prof, Dr, ”Pendidikan Islam”, Penerbit Kalimah, cetakan III, Jakarta. 2001
A. Qodri. Azizy, Prof, Dr, ”Pendidikan (agama) Untuk Membangun Eetika Sosial, CV. Aneka Ilmu, Semarang, 2003
A. Qodri Azizy, Prof, Dr, ”Melawan Globalisasi , Reinterpretasi Ajaran Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet. IV, 2004



Identitas Penulis :
Nama : Imron Wahid Widodo, S.Pd
Guru Madrasah Aliyah Negeri Patas, Buleleng , Bali

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com